Ada sebuah pemandangan yang mungkin mulai lazim kita temui: seorang anak usia sekolah dasar yang tak lagi hanya sibuk dengan krayon, melainkan asyik menyusun perintah teks di depan layar untuk menghasilkan gambar naga yang terbang di atas gedung-gedung futuristik. Dalam hitungan detik, imajinasinya menjelma menjadi visual yang memukau berkat bantuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Di titik ini, sebagai orang tua atau pendidik, kita mungkin sempat tertegun dan bertanya: apakah ini masih bisa disebut sebagai kreativitas? Ataukah kita sedang menyaksikan hilangnya proses orisinalitas dalam diri anak?
Ketakutan bahwa teknologi akan mematikan daya cipta anak sebenarnya adalah kekhawatiran klasik yang selalu berulang setiap kali ada penemuan besar. Padahal, jika kita melihat lebih jernih, AI dan teknologi digital bukanlah pengganti kreativitas, melainkan alat perluasan imajinasi yang baru. Kreativitas pada hakikatnya adalah kemampuan memecahkan masalah dan menghubungkan titik-titik gagasan yang berbeda menjadi sesuatu yang baru. Di era digital, titik-titik gagasan itu kini tersedia dalam jumlah yang tak terbatas di jagat maya.
Tantangan utama dalam mengembangkan kreativitas anak saat ini bukan lagi tentang ketersediaan sarana, melainkan tentang bagaimana menjaga agar anak tetap menjadi "pengendali" dan bukan sekadar "penonton" teknologi. Kreativitas yang sejati di era AI adalah kemampuan untuk memberikan instruksi yang kritis dan bermakna. Saat seorang anak belajar menggunakan platform AI untuk membuat musik atau mendesain karakter, ia sebenarnya sedang belajar tentang struktur, logika, dan estetika. Peran kita adalah memastikan mereka memahami bahwa AI hanyalah asisten, sementara ide besarnya harus tetap lahir dari hati dan pikiran mereka sendiri.
Namun, menumbuhkan kreativitas di era digital juga menuntut kita untuk tetap membumi. Keseimbangan adalah kunci. Otak anak tetap membutuhkan stimulasi taktil—sentuhan nyata dengan benda-benda fisik—untuk membangun sinapsis saraf yang kuat. Bermain lumpur, merangkai lego, atau sekadar melipat kertas tetap menjadi fondasi yang tak tergantikan. Pengalaman sensorik di dunia nyata inilah yang nantinya akan menjadi bahan bakar bagi imajinasi digital mereka. Tanpa pengalaman nyata tentang bagaimana warna berbaur atau bagaimana struktur bangunan bekerja, anak akan kesulitan memberikan arahan yang kreatif saat berinteraksi dengan teknologi.
Kita juga perlu mendorong anak untuk berani melakukan kesalahan. Di dunia digital yang serba sempurna dengan fitur undo dan filter kecantikan, anak-anak sering kali menjadi takut salah. Padahal, esensi dari kreativitas adalah keberanian untuk mencoba hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal. Sebagai orang dewasa di sekitar mereka, kita harus menciptakan ruang di mana kegagalan dalam bereksperimen dianggap sebagai bagian dari proses belajar. Biarkan mereka membuat video pendek yang berantakan, biarkan mereka menyusun narasi cerita yang absurd melalui asisten virtual, dan hargailah proses berpikir di balik karya tersebut lebih daripada hasil akhirnya yang terlihat canggih.
Selain itu, literasi digital menjadi elemen krusial dalam memupuk kreativitas yang beretika. Mengembangkan kreativitas di era AI berarti juga mengajarkan anak tentang nilai orisinalitas dan menghargai karya orang lain. Mereka perlu tahu bahwa meskipun mesin bisa menghasilkan karya dengan cepat, nilai dari sebuah karya seni terletak pada pesan dan emosi yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Mengajak anak berdiskusi tentang apa yang membuat sebuah karya terasa "hidup" akan membantu mereka menjadi kreator yang memiliki kedalaman rasa, bukan sekadar operator mesin yang andal.
Pada akhirnya, masa depan tidak lagi meminta anak-anak kita untuk bersaing dengan mesin dalam hal kecepatan atau ketepatan teknis, karena mesin pasti akan menang. Masa depan meminta mereka untuk menjadi lebih manusiawi—menjadi sosok yang mampu berempati, berpikir kritis, dan memiliki imajinasi yang liar. Tugas kita bukan untuk memagari mereka dari teknologi, melainkan membimbing mereka agar mampu menunggangi gelombang digital ini dengan kreativitas yang tak terbatas. Sebab, secanggih apa pun AI yang diciptakan manusia, ia tak akan pernah bisa menggantikan binar mata seorang anak yang berhasil mewujudkan ide gilanya menjadi kenyataan.
Image: Freepik
