Membangun ikatan emosional dengan buah hati bukanlah perkara satu atau dua hari. Sebagai orang tua, kita sering kali merasa sudah memberikan yang terbaik, mulai dari pemenuhan gizi hingga fasilitas pendidikan yang mumpuni. Namun, pernahkah Anda merasa bahwa semakin anak bertumbuh besar, ia justru semakin tertutup? Ruang makan yang biasanya ceria, tiba-tiba berubah menjadi sunyi, atau percakapan hanya berakhir dengan jawaban satu-dua kata saja dari si Kecil.
Bisa jadi, ada "tembok raksasa" yang tanpa sadar sedang kita bangun melalui kata-kata kita sendiri. Dalam psikologi pengasuhan, dikenal istilah penghambat komunikasi. Sering kali, kalimat ini keluar begitu saja saat kita sedang lelah, panik, atau justru saat kita berniat ingin menasihati. Namun, bagi telinga anak, kalimat tersebut terdengar seperti serangan, penghakiman, atau penolakan.
Mari kita bedah enam kalimat yang sering kali menjadi "racun" dalam komunikasi orang tua dan anak, agar kita bisa lebih bijak dalam bertutur kata.
1. "Masa begitu saja menangis? Kamu harus kuat!"
Niat kita mungkin baik, yakni ingin melatih mental anak agar tangguh. Namun, kalimat ini sebenarnya adalah bentuk penolakan terhadap perasaan anak. Ketika anak menangis karena mainannya rusak atau merasa gagal dalam ujian, ia sedang mengekspresikan kesedihan. Menutup pintu emosi tersebut dengan menyuruhnya berhenti menangis justru akan membuat anak merasa bahwa emosinya tidak valid atau salah. Di masa depan, anak mungkin akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit mengekspresikan perasaan karena takut dianggap lemah.
2. "Coba lihat si A, dia saja bisa dapat nilai bagus tanpa belajar keras."
Membanding-bandingkan adalah cara tercepat untuk meruntuhkan konsep diri anak. Kita mungkin berharap kalimat ini memacu kompetisinya, namun kenyataannya justru memicu rasa rendah diri dan kebencian. Setiap anak memiliki "garis start" dan bakat yang unik. Ketika anak terus dibanding-bandingkan, ia akan merasa bahwa kasih sayang orang tuanya bersyarat—hanya akan didapatkan jika ia bisa menyamai atau melebihi orang lain. Alih-alih termotivasi, anak justru akan merasa tidak pernah cukup baik di mata kita.
3. "Sudah Mama bilang juga apa, kamu sih tidak mau dengar!"
Kalimat ini biasanya keluar saat anak mengalami kegagalan atau kesalahan yang sudah pernah kita ingatkan sebelumnya. Meski secara teknis Anda benar, kalimat ini bernada menyalahkan (blaming). Saat anak terjatuh atau gagal, yang mereka butuhkan adalah empati dan solusi, bukan penghakiman yang membuat mereka merasa bodoh. Kalimat ini hanya akan membuat anak merasa enggan untuk bercerita di kemudian hari karena mereka sudah bisa menebak bahwa ujung-ujungnya mereka akan disalahkan.
4. "Jangan membantah! Pokoknya harus nurut sama Papa."
Inilah ciri khas pola asuh otoriter yang sering kali memutus komunikasi dua arah. Memang, sebagai orang tua kita memiliki otoritas, namun menggunakannya secara membabi buta tanpa mendengarkan alasan anak akan mematikan kemampuan berpikir kritis mereka. Anak yang tidak diberi ruang untuk berpendapat cenderung akan melakukan dua hal di masa depan: menjadi sangat pemberontak di belakang kita, atau menjadi pribadi yang tidak punya pendirian karena selalu terbiasa "disetir".
5. "Kamu ini memang malas, ya. Begitu saja tidak dikerjakan."
Memberi label atau cap negatif (labeling) pada anak adalah hal yang sangat berbahaya. Bagi anak, kata-kata orang tua adalah doa sekaligus identitas. Jika mereka terus disebut malas, nakal, atau lamban, otak mereka akan menginternalisasi label tersebut sebagai kebenaran. Mereka akan berpikir, "Kenapa saya harus berusaha? Kan Mama bilang saya pemalas." Fokuslah pada perilakunya, bukan pada pribadinya. Katakanlah, "Mama lihat tugasmu belum selesai," daripada "Kamu pemalas."
6. "Nanti kalau kamu tidak mau makan, Mama tinggal sendirian lho!"
Ancaman atau penakut-nakutan sering digunakan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan kepatuhan anak secara cepat. Namun, ancaman yang menyerang rasa aman anak seperti ini akan menimbulkan kecemasan mendalam. Anak akan belajar untuk patuh karena rasa takut, bukan karena kesadaran. Komunikasi yang berbasis rasa takut tidak akan pernah menghasilkan rasa hormat yang tulus, melainkan ketundukan yang rapuh.
Membangun Komunikasi yang Menghubungkan
Lalu, bagaimana cara memperbaikinya? Kuncinya adalah mendengarkan secara aktif. Cobalah untuk memposisikan diri kita di level yang sama dengan anak. Gunakan "Pesan Saya" (I-Message) daripada menyalahkan mereka. Misalnya, "Mama merasa sedih kalau melihat mainan berserakan," alih-alih "Kamu ini berantakan sekali!"
Anak-anak adalah peniru yang ulung. Jika kita berkomunikasi dengan penuh penghargaan, empati, dan kesabaran, mereka pun akan belajar melakukan hal yang sama. Jangan biarkan kalimat-kalimat penghambat ini menjadi penghalang kebahagiaan keluarga Anda. Mari kita mulai membuka pintu komunikasi yang lebih hangat, agar rumah benar-benar menjadi tempat mereka pulang dengan rasa aman, bukan tempat mereka merasa dihakimi.
Mendidik anak memang tidak ada sekolahnya, namun keinginan kita untuk terus belajar dan memperbaiki diri adalah hadiah terindah yang bisa kita berikan untuk masa depan mereka.
Image: Freepik
