Bedah IPO Superbank (SUPA): Saat "Bank-nya Grab" Melantai di Bursa, Masihkah Ada Sisa Kue untuk Investor Ritel?


Akhir tahun 2025 menjadi momen yang sibuk bagi Bursa Efek Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk penutupan buku tahunan, satu nama besar memutuskan untuk menabuh genderang perang di lantai bursa: PT Super Bank Indonesia Tbk atau yang lebih akrab kita sapa Superbank.

Bagi Anda pengguna setia layanan ride-hailing Grab atau dompet digital OVO, nama ini mungkin sudah seliweran di notifikasi ponsel Anda setahun terakhir. Namun, bagi investor saham, kehadiran Superbank (rencananya menggunakan kode ticker: SUPA) bukan sekadar notifikasi aplikasi. Ini adalah tawaran untuk ikut memiliki potongan kue dari salah satu ekosistem digital terbesar di Asia Tenggara.

Dengan dukungan nama-nama "raksasa" seperti Emtek Group, Grab, Singtel, hingga KakaoBank dari Korea Selatan, Superbank datang dengan valuasi yang tidak main-main. Namun, pertanyaan klasiknya tetap sama: Di tengah banyaknya bank digital yang sudah lebih dulu listing—seperti Bank Jago (ARTO) atau Allo Bank (BBHI)—apakah SUPA masih menawarkan potensi cuan, atau justru kita hanya diminta untuk "cuci piring" di valuasi yang sudah mahal?

Mari kita bedah prospektus dan jeroan keuangannya.

Transformasi: Dari Fama Menjadi Raksasa Digital

Cerita Superbank adalah cerita klasik turnaround bank kecil yang dicaplok konglomerat. Dulunya bernama Bank Fama International, bank ini adalah bank tradisional yang relatif sepi dari pemberitaan. Nasibnya berubah total ketika konsorsium Emtek masuk pada 2021, disusul oleh Grab dan Singtel pada awal 2022.

Masuknya KakaoBank pada 2023 menjadi kepingan puzzle terakhir. Kehadiran bank digital terbesar di Korea Selatan ini bukan sekadar setor modal, tapi transfer teknologi. Hasilnya? Sebuah bank yang didesain bukan untuk bersaing membuka kantor cabang di kecamatan, melainkan "menjajah" layar ponsel jutaan pengguna aktif Grab dan OVO.

Dalam prospektus awalnya, Superbank menargetkan dana segar dari masyarakat hingga Rp3,06 triliun (maksimal). Angka yang fantastis untuk ukuran bank buku II. Rencananya, saham ini akan resmi dicatatkan (listing) pada 17 Desember 2025.


Bedah Kinerja: Akhirnya "Pecah Telur" Laba

Salah satu ketakutan terbesar investor ritel saat membeli saham bank digital atau tech company adalah: "Bakar uangnya sudah selesai belum?"

Kabar baiknya, berdasarkan laporan keuangan Semester I 2025 (1H25), Superbank tampaknya sudah menemukan jalan menuju profitabilitas. Data ini cukup mengejutkan banyak analis, termasuk tim riset OCBC Sekuritas yang baru-baru ini merilis komentarnya.

Bayangkan, pada Semester I 2024, bank ini masih berdarah-darah dengan kerugian bersih sebesar Rp135,4 miliar. Namun, hanya dalam setahun, situasi berbalik 180 derajat. Per Juni 2025, Superbank sukses membukukan laba bersih Rp20,1 miliar. Kenaikannya tercatat 115,1% secara tahunan (YoY).

Apa resep rahasianya? Bukan sulap, melainkan efisiensi dan volume.

Pendapatan Bunga Bersih (NII) mereka meroket 170,7% menjadi Rp665 miliar. Di saat yang sama, mereka berhasil menekan biaya operasional secara brutal. Rasio Biaya terhadap Pendapatan (Cost to Income Ratio atau CIR) yang tadinya bengkak di angka 149,9% (artinya biaya jauh lebih besar dari pemasukan), kini turun drastis ke level sehat 74,2%.

Ini sinyal penting bagi investor: Manajemen Superbank tidak lagi sekadar mengejar pertumbuhan pengguna dengan promo gila-gilaan, tapi sudah mulai serius memikirkan bottom line atau keuntungan pemegang saham.

Ekosistem adalah Kunci (dan Risiko)

Kekuatan utama Superbank—yang sekaligus menjadi "benteng" pertahanan bisnisnya—adalah integrasi ekosistem.

Lihat saja data penyaluran kreditnya. Per Juni 2025, kredit yang disalurkan tumbuh 123,2% YoY tembus ke angka Rp8,4 triliun. Menariknya, 72,5% dari portofolio kredit tersebut mengalir ke segmen Ritel dan UMKM.

Siapa mereka? Mereka adalah mitra pengemudi Grab yang butuh dana talangan bensin, merchant GrabFood yang butuh modal belanja bahan baku, atau pengguna OVO yang butuh paylater. Superbank memiliki akses data transaksi mereka. Ini membuat proses credit scoring (penilaian kelayakan kredit) menjadi jauh lebih akurat dan cepat berkat bantuan Artificial Intelligence (AI).

Tak heran jika rasio kredit macet (NPL Gross) berhasil ditekan dari 4,3% menjadi 2,7%. Ini angka yang cukup impresif untuk bank yang bermain di segmen mikro dan ritel, yang biasanya berisiko tinggi.

Dari sisi pendanaan, inovasi seperti "OVO Nabung by Superbank" terbukti ampuh. Dana Pihak Ketiga (DPK) melonjak 747,6% menjadi Rp8,4 triliun. Kemudahan membuka rekening tanpa perlu tatap muka atau video call yang ribet menjadi daya tarik utama bagi kaum milenial dan Gen Z.

Mau Dikemanakan Uang Rp3 Triliun Itu?

Investor yang cerdas selalu bertanya: Uang IPO buat apa? Apakah untuk bayar utang pemegang saham lama, atau untuk ekspansi?

Dalam prospektus, manajemen Superbank menegaskan bahwa 100% dana IPO akan masuk ke kas perusahaan untuk modal kerja dan investasi.


~70% untuk Modal Kerja: Ini amunisi untuk menyalurkan lebih banyak kredit lagi. Targetnya jelas: memperbesar pangsa pasar di kolam ekosistem Grab yang sangat luas.


~30% untuk Belanja Modal (Capex): Ini untuk "mempercantik" jeroan teknologi. Mulai dari pengembangan infrastruktur IT, keamanan siber (cybersecurity), hingga pengembangan AI. Di era bank digital, teknologi adalah nyawa. Sekali aplikasi down atau data bocor, reputasi bisa hancur dalam semalam.

Valuasi: Murah atau Mahal?

Ini adalah bagian paling tricky. Berdasarkan riset OCBC Sekuritas, valuasi Superbank berada di kisaran Price to Book Value (PBV) 2,3x hingga 2,8x.

Jika dibandingkan dengan bank konvensional (seperti BBRI atau BMRI), angka ini jelas mahal. Namun, membandingkan bank digital dengan bank konvensional ibarat membandingkan Tesla dengan Toyota. Metrik pertumbuhannya berbeda.

Jika disandingkan dengan peers bank digital lain saat masa kejayaannya, angka 2,3x-2,8x tergolong wajar (bahkan cenderung moderat). Pasar tampaknya sudah lebih rasional dan tidak lagi menghargai bank digital dengan valuasi "langit ke tujuh" seperti tahun 2021 lalu.

Namun, ada catatan merah yang perlu diperhatikan. Return on Equity (ROE) Superbank masih tergolong rendah karena baru saja berbalik laba. Selain itu, likuiditas saham ini mungkin akan menjadi tantangan tersendiri mengingat porsi saham publik yang biasanya terbatas di awal IPO.


Risiko yang Tak Boleh Diabaikan

Jangan hanya tergiur dengan nama besar Grab dan Singtel. Ada risiko nyata yang wajib Anda hitung:

Ketergantungan Ekosistem: Superbank sangat bergantung pada Grab dan OVO. Jika performa bisnis Grab menurun, atau jika ada perubahan kebijakan dalam ekosistem tersebut, Superbank akan menjadi pihak yang paling pertama "batuk".

Perang Bunga: Persaingan bank digital di Indonesia sangat sengit. Bank Jago, SeaBank, Allo Bank, hingga neobank saling sikut menawarkan bunga simpanan tinggi. Jika Superbank terjebak dalam perang harga ini, margin keuntungan (NIM) yang saat ini tebal (10,2%) bisa tergerus.

Ancaman Siber: Sebagai bank yang 100% digital, risiko peretasan dan kegagalan sistem adalah mimpi buruk yang nyata.


Kesimpulan: Beli atau Wait and See?


IPO Superbank (SUPA) bukanlah saham untuk pemburu dividen, setidaknya tidak untuk 2-3 tahun ke depan. Ini adalah saham growth story. Anda membeli masa depan dan keyakinan bahwa integrasi antara perbankan dan gig economy (Grab/OVO) akan terus membesar.

Bagi investor agresif yang percaya pada dominasi ekosistem Grab di Asia Tenggara, dan melihat keberhasilan manajemen membalikkan rugi menjadi laba di 1H25 sebagai sinyal positif, SUPA layak masuk radar pantauan atau dikoleksi secara bertahap.

Namun, bagi investor konservatif, valuasi PBV di atas 2x mungkin terasa agak "mahal" di tengah kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian.

Satu hal yang pasti: Superbank tidak datang untuk bermain-main. Dengan dana Rp3 triliun di tangan, mereka siap mengusik kemapanan bank-bank digital yang sudah lebih dulu nyaman di puncak klasemen. Pertanyaannya sekarang, apakah Anda mau ikut dalam "kendaraan" ini, atau cukup menontonnya dari pinggir jalan?

Disclaimer: Artikel ini bukan ajakan membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan Anda. Pelajari prospektus secara lengkap sebelum mengambil keputusan.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak