Memupuk Kebahagiaan Anak: Belajar dari Sisi Lain Dea Ananda

Foto: Instagram @dea_ananda


Di era digital yang penuh dengan tren parenting, kisah para mantan artis cilik sering kali memberikan pelajaran berharga. Salah satunya adalah Dea Ananda, yang kini berbagi pengalamannya sebagai seorang ibu setelah 13 tahun menanti. Kisah yang dibagikannya bukan sekadar tentang kebahagiaan memiliki anak, melainkan juga tentang bagaimana ia berupaya "menyembuhkan" masa lalunya demi memberikan yang terbaik untuk sang putri.

Menghadapi Trauma untuk Menjadi Ibu yang Lebih Baik

Bagi banyak orang, masa kecil Dea Ananda adalah masa yang penuh sorotan. Di bawah nama besar Trio Kwek Kwek, ia tumbuh dengan popularitas dan jadwal yang padat. Namun, di balik itu semua, ada sebuah ruang kosong yang baru ia sadari saat menjadi ibu. Dea mengungkapkan bahwa kehadiran putrinya, Sanne, memicu kenangan dan emosi yang selama ini terpendam.

"Menjadi ibu membuatku kembali ke memori yang kurasa sudah hilang," ujarnya.

Dea bercerita, ia sempat mengalami baby blues dan merasakan kembali tekanan yang ia alami di masa kecilnya, di mana ia harus selalu terlihat ceria dan bersyukur. Perasaan seperti "robot" yang hanya menjalankan rutinitas tanpa bisa mengekspresikan emosi, kini menjadi pelajaran berharga. Dea menyadari, untuk bisa mendidik Sanne dengan baik, ia harus berdamai dengan masa lalunya terlebih dahulu.

Pengalaman ini mengajarkan sebuah prinsip penting dalam parenting: trauma masa lalu orang tua bisa memengaruhi cara mereka mendidik anak. Dengan berani menghadapi dan mengelola trauma itu, orang tua dapat memutus mata rantai negatif dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara emosional untuk anak-anak mereka.

Perbedaan Pola Asuh: Mencari Titik Tengah

Setiap pasangan memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengasuh anak. Hal ini juga dialami oleh Dea dan suaminya, Ariel. Dea menggambarkan suaminya sebagai sosok yang cenderung protektif dan steril, sementara ia lebih santai dan membiarkan putrinya bereksplorasi, bahkan jika harus bermain kotor.

Perbedaan ini adalah dinamika umum yang dihadapi banyak orang tua. Konflik kecil ini, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan ketegangan. Namun, Dea dan Ariel berhasil menemukan jalan tengah. Mereka berkompromi agar Sanne tidak terlalu terkekang, namun tetap aman.

Pelajaran dari Dea dan Ariel adalah bahwa komunikasi dan kompromi adalah kunci dalam membangun pola asuh yang efektif. Daripada memaksakan salah satu pola, mencari titik tengah yang menguntungkan perkembangan anak adalah pilihan terbaik.

Membangun Kebahagiaan Anak dengan Pendekatan yang Sehat

Ketika disinggung tentang masa depan Sanne, Dea memberikan jawaban yang bijak. Ia melihat bakat menyanyi dan menari yang menurun dari dirinya. Namun, ia tidak ingin memaksakan putrinya terjun ke dunia yang sama terlalu dini.

"Aku akan dukung dia, tapi aku ingin dia fokus pada pendidikan dulu," kata Dea.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Dea belajar dari pengalamannya. Ia tidak ingin Sanne merasa terbebani seperti dirinya dulu. Ia ingin Sanne memiliki masa kecil yang penuh dengan kebahagiaan, bukan sekadar jadwal padat yang mengejar popularitas.

Kisah Dea Ananda menjadi pengingat bagi para orang tua. Bahwa di tengah berbagai tuntutan dan ekspektasi, prioritas utama seharusnya adalah kebahagiaan dan perkembangan emosional anak. Dengan berani menghadapi masa lalu, berkomunikasi dengan pasangan, dan memberikan ruang bagi anak untuk tumbuh sesuai keinginannya, orang tua dapat memastikan bahwa anak-anak mereka tidak hanya sukses, tetapi juga bahagia.

Kisah Dea Ananda adalah bukti nyata bahwa parenting bukan hanya soal mengasuh, tetapi juga tentang proses penyembuhan diri dan pertumbuhan yang tak pernah berhenti.



Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak