Di sebuah sudut kafe, seorang anak remaja tampak asyik menggerakkan jemarinya di atas layar smartphone dengan kecepatan yang mengagumkan. Ia mungkin sedang berbalas pesan dengan sepuluh teman sekaligus, mengirimkan emoji tertawa, atau mengunggah komentar di platform media sosial. Namun, ketika pelayan datang menanyakan pesanannya, ia tampak gagap, menghindari kontak mata, dan menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar. Fenomena ini memicu sebuah refleksi besar bagi kita: di dunia yang serba terkoneksi ini, apakah anak-anak kita benar-benar belajar cara berkomunikasi?
Keterampilan komunikasi pada anak sering kali disalahartikan sebatas kemampuan berbicara atau kelancaran berbahasa. Padahal, komunikasi adalah sebuah seni yang melibatkan empati, pembacaan bahasa tubuh, dan kemampuan mendengarkan secara aktif. Di era digital, tantangan ini menjadi dua kali lipat lebih berat. Teknologi telah memangkas banyak elemen non-verbal dalam interaksi manusia. Saat anak-anak terlalu banyak berkomunikasi lewat teks, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar membaca gurat kesedihan di wajah lawan bicara atau menangkap nada sarkasme dalam sebuah kalimat.
Pentingnya mengasah keterampilan komunikasi sejak dini menjadi semakin krusial karena di masa depan, keterampilan inilah yang akan menjadi pembeda utama antara manusia dan mesin. Kecerdasan buatan mungkin bisa menyusun kalimat yang sempurna secara tata bahasa, namun ia tidak bisa membangun koneksi emosional yang tulus. Jika anak-anak kita tidak dilatih untuk berkomunikasi secara efektif di dunia nyata, mereka akan kesulitan dalam membangun relasi, bernegosiasi, hingga memimpin di masa depan. Komunikasi adalah fondasi dari kepemimpinan dan kolaborasi.
Salah satu dampak yang paling terasa dari dominasi komunikasi digital adalah berkurangnya toleransi anak terhadap proses percakapan yang lambat. Komunikasi digital bersifat instan dan sering kali bisa diedit atau dihapus sebelum dikirim. Hal ini berbeda jauh dengan komunikasi tatap muka yang membutuhkan keberanian untuk merespons secara langsung dan jujur. Kita perlu mendorong anak untuk kembali melakukan "percakapan berisiko"—percakapan di mana mereka harus berhadapan langsung dengan emosi orang lain tanpa bantuan filter atau tombol hapus.
Bagaimana kita, sebagai orang tua dan pendidik, bisa masuk ke dalam celah ini? Langkah paling sederhana namun paling sulit adalah dengan memberikan teladan "kehadiran utuh". Saat anak berbicara, letakkan gawai kita, tatap matanya, dan tunjukkan bahwa kata-katanya lebih berharga daripada notifikasi apa pun yang muncul di layar. Dengan memberikan perhatian penuh, kita sedang mengajarkan mereka nilai dari menghargai lawan bicara. Selain itu, ajaklah anak untuk berlatih berargumen secara sehat. Berikan mereka ruang untuk menyampaikan pendapat di meja makan, ajari mereka cara menyanggah dengan sopan, dan dorong mereka untuk berani bertanya "mengapa".
Di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa dunia digital adalah panggung baru mereka. Mengembangkan keterampilan komunikasi juga berarti mengajarkan etika digital atau netiket. Anak perlu memahami bahwa di balik layar yang dingin, ada manusia nyata dengan perasaan yang bisa terluka. Mengajarkan mereka untuk berpikir sebelum mengetik, serta memahami dampak dari setiap kata yang mereka unggah, adalah bentuk nyata dari keterampilan komunikasi di abad ke-21.
Pada akhirnya, komunikasi adalah tentang membangun jembatan, bukan sekadar mengirimkan pesan. Kita tidak ingin membesarkan generasi yang mahir berteriak di media sosial namun bungkam saat harus duduk berhadapan. Dengan membekali mereka keterampilan berkomunikasi yang kuat—baik secara verbal maupun digital—kita sedang memberikan mereka kunci untuk membuka berbagai pintu peluang di masa depan. Sebab, sehebat apa pun ide yang dimiliki seorang anak, ide itu hanya akan menjadi sepi jika ia tidak tahu cara menyampaikannya dengan hati.
image: freepik
