Literasi Investasi : Kisah Petualangan Rio di Pasar Saham

Di suatu sore yang cerah, Rio sedang asyik bermain game di ponselnya ketika ia melihat Kakek Budi, kakeknya, sedang serius menatap layar ponselnya. Tapi Kakek tidak sedang bermain game. Di layarnya ada grafik dengan garis-garis hijau dan merah yang naik turun. "Kakek lagi lihat apa, sih? Kok serius sekali?" tanya Rio penasaran.

Kakek Budi tersenyum. "Ini namanya pasar saham, Rio. Anggap saja seperti kita membeli sepotong kecil dari perusahaan besar. Kalau perusahaannya untung, nilai potongan kecil kita juga ikut naik." Kakek lalu melanjutkan, "Dulu, waktu pasar saham pertama kali ada di Indonesia, namanya masih Bursa Efek Jakarta."


"Dulu sekali?" tanya Rio. Kakek mengangguk. "Betul. Dulu, kalau Kakek mau beli saham, Kakek harus menelepon pialang saham. Ribet sekali! Kita harus teriak-teriak di telepon untuk dapat harga yang pas. Dan sekali beli, minimal harus 500 lembar saham, namanya satu lot."

"Wah, repotnya!" seru Rio. "Betul," kata Kakek. "Tapi sekarang zaman sudah berubah. Lihat," Kakek menunjukkan aplikasi di ponselnya. "Sekarang semua ada di genggaman. Kita bisa beli dan jual saham lewat aplikasi ini. Dan satu lot sekarang hanya 100 lembar, jadi lebih terjangkau untuk anak muda sepertimu."

"Garis hijau dan merah ini apa, Kek?" tanya Rio, menunjuk grafik. "Itu menunjukkan arah pasar. Kalau garisnya cenderung naik, itu namanya bullish. Kita sebut 'Pasar Banteng', karena banteng menyerang dengan menyeruduk ke atas. Artinya, banyak orang optimis dan harga-harga saham naik," jelas Kakek.

"Lalu kalau turun?" "Nah, itu namanya bearish atau 'Pasar Beruang'. Beruang kan menyerang dengan mencakar ke bawah. Artinya, orang-orang sedang pesimis dan harga-harga saham cenderung turun," kata Kakek Budi.

Rio mulai cemas. "Jadi... uang kita bisa hilang kalau harganya turun terus, Kek?" Kakek menepuk pundak Rio. "Itulah gunanya strategi, Rio. Salah satunya namanya cut loss. Artinya, kita harus berani menjual saham kita saat harganya turun sampai batas tertentu untuk menghindari kerugian yang lebih besar."

"Jadi seperti mundur selangkah untuk bisa maju lagi nanti ya, Kek?" tanya Rio. "Tepat sekali! Itu bukan berarti kita menyerah. Itu artinya kita cerdas dalam mengelola risiko. Kita amankan dulu 'amunisi' kita untuk membeli saham lain yang lebih baik nanti," jawab Kakek.

Rio mengangguk-angguk, matanya berbinar. Dunia garis hijau dan merah itu ternyata tidak serumit yang ia bayangkan. Ada logika, sejarah, dan strategi di baliknya. "Wah, keren! Rio jadi ingin belajar lebih banyak, Kek!"

Kakek Budi tersenyum bangga. "Tentu saja. Ingat, Rio, investasi terbaik adalah investasi pada pengetahuan. Belajarlah dulu, pahami risikonya, dan mulailah dengan bijak. Pasar saham bukan jalan cepat jadi kaya, tapi sebuah perjalanan panjang untuk masa depanmu."


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak